Jumat, 26 Desember 2008

Nasibmu Kota Cimahi…

Eforia otonomi daerah masyarakat Cimahi rupanya tidak berumur lama. Hanya dalam kurun waktu lima tahun sejak diresmikan menjadi kota, Cimahi sudah mulai megap-megap menghadapi berbagai masalah perkotaan yang muncul karena luas wilayahnya yang terbatas.

Letak wilayah kota tua di Jawa Barat yang menyimpan sejarah kolonial dengan peninggalannya berupa bangunan-bangunan tua itu sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari Kota Bandung yang menjadi pusat pemerintahan daerah Provinsi Jawa Barat.

Rumah Sakit Dustira salah satu bangunan tua di Kota Cimahi yang dibangun tahun 1887.

Kedua wilayah itu, wilayah Kota Bandung dan Kota Cimahi, saling berbatasan. Bahkan, karena jarak dengan Kota Bandung hanya sekitar 12 kilometer, setiap hari kerja Mikhael Sunarto dan ribuan karyawan lainnya yang tinggal di daerah Cimahi pergi-pulang ke tempat kerjanya di Bandung. Kota Cimahi selama ini dijadikan pilihan tempat tinggal setelah Kota Bandung. Sebagian besar penduduknya menjadi karyawan atau pegawai negeri dan anggota TNI.
Akan tetapi, di luar itu ada yang menarik dari Cimahi.
Ibarat manusia, Cimahi sudah melewati perjalanan panjang dan melelahkan. Sejarah dan masa lalunya menarik untuk disimak, paling tidak mengapa kota ini mendapat julukan ”Kota Hijau”. Kota Cimahi merupakan tempat di mana terdapat tidak kurang dari delapan lembaga pusat pendidikan (pusdik) TNI/AD dengan siswa-siswa yang berasal dari seluruh pelosok Nusantara.
Sekadar kilas balik perjalanannya, Cimahi sudah tumbuh jauh sebelum terbentuk Gemeeente Bandung (1 April 1906). Kota ini didesain menjadi pusat garnisun serdadu Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19 yang dibuktikan dengan beberapa bangunan pendukungnya.
Penjara militer yang populer dengan julukan Penjara Poncol dibangun tahun 1886. Bangunan yang kini digunakan Rumah Sakit Dustira itu dibangun tahun 1887, dan 12 tahun kemudian, tahun 1905, mengalami perluasan. Bangunan-bangunan itu masih tetap dipertahankan, baik bentuk maupun fungsinya.
Letaknya yang strategis sebenarnya sudah terlihat ketika tahun 1811, saat Gubernur Jenderal Daendels membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) Anyer-Panarukan sejauh 1.000 kilometer. Di daerah Priangan, setelah Cianjur, jalan tersebut melintasi Cimahi, Bandung, dan Sumedang.
Cimahi yang awalnya hanya merupakan desa kecil makin terbuka setelah dihubungkan jalur kereta api Batavia-Bogor-Bandung pada tahun 1884. Sebuah stasiun dibangun di sana, menghubungkan Cimahi dengan Cilacap yang merupakan satu-satunya pelabuhan di selatan Pulau Jawa.
Dari tahun ke tahun, jumlah serdadu yang ditempatkan di sana makin banyak. Apalagi sejak tahun 1908 Departement van Oorlog (Departemen Peperangan) mulai dipindahkan dari Weltevreden (Gambir) ke Bandung. Bangunannya tidak jauh dengan Markas Kodam III/Siliwangi yang dulunya merupakan Paleis Legerbommandant.
Karena jumlah serdadu yang ditempatkan di Cimahi bertambah banyak, pada tahun 1908 dibangun Gereja St Ignatius dengan jumlah jemaat sebanyak 230 orang. Di bidang pemerintahan sipil, untuk mengimbangi perkembangan wilayahnya, Cimahi ditetapkan menjadi kecamatan, sesuai lampiran Staatblad tahun 1935 Nomor 123.
Sampai 30 tahun setelah kemerdekaan, tidak banyak perubahan status yang dialami kota ini, kecuali dijadikan kewedanaan yang kemudian istilahnya diganti menjadi koordinator wilayah (korwil). Korwil Cimahi membawahkan empat kecamatan (Cimahi, Padalarang, Batujajar, dan Cipatat). Namun, dibandingkan dengan tiga daerah lainnya, Cimahi memiliki beberapa kelebihan.
Perkembangan Cimahi jauh lebih pesat. Karena itu, sebagai kota kedua setelah Kota Bandung, Cimahi merupakan pilihan bagi sebagian penduduk yang berurbanisasi.
Pilihan itu bertambah lagi sejak daerah sekitarnya, seperti Leuwigajah dan Kecamatan Cimahi Selatan serta Cimahi Tengah, menjadi zona industri, yang sebagian besar terdiri dari industri tekstil dan produk tekstil. Pusat kotanya berkembang menjadi pusat perdagangan sehingga sejak itu Cimahi menjelma menjadi pusat kegiatan pelayanan barang dan jasa di wilayah Kabupaten Bandung bagian barat.
Melihat kenyataan ini, dua tahun sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pemerintah pusat (dalam hal ini Depdagri) menilai Kecamatan Cimahi layak ditingkatkan statusnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1975, Cimahi akhirnya ditetapkan sebagai kota administratif (kotif) pertama di Jabar dan ketiga di Indonesia setelah Bitung di Sulawesi Utara dan Banjarbaru di Kalimantan Selatan. Namun, peresmiannya sebagai kotif barulah dilaksanakan pada 29 Januari 1976 oleh Mendagri Amir Machmud. Secara kebetulan, Amir Machmud adalah perwira tinggi yang berasal dari Cimahi. Untuk menghargai jasa-jasanya, pada Hari Pahlawan tahun 2006, namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Cimahi.
Luas wilayah Kotif Cimahi hanya meliputi wilayah Kecamatan Cimahi Utara, Cimahi Tengah, dan Cimahi Selatan dengan luas 40,3 kilometer persegi. Lebih kecil dibandingkan dengan luas sebelumnya ketika masih berstatus korwil. Jumlah penduduknya 218.588 jiwa. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua hal itu, yakni luas wilayah yang terbatas dan jumlah penduduk yang terus bertambah, menjadi masalah krusial yang dihadapi daerah ini setelah ditetapkan menjadi daerah otonom, Kota Cimahi.
Cimahi ditingkatkan statusnya menjadi ”kota” berdasarkan UU No 9 Tahun 2001, tanggal 21 Juni 2001. Sejak itu, Cimahi memiliki otonomi penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri, terlepas dari Kabupaten Bandung. Ditunjuk sebagai pejabat Wali Kota adalah H Itoc Tochiya. Dia pulalah yang tanggal 17 Oktober dilantik menjadi wali kota pertama Cimahi dengan wakil Dedih Djunaedi setelah mengungguli tiga pasangan lainnya, Desi Fernanda-H Syamsul Rizal, H Mohammad Husni-HE Anda Suhanda, dan Panji Tiryasa-H Endang Anwar.
Sejak awal, sejak desakan keinginan mulai mengemuka, tidak kurang dari Wakil Gubernur Jabar Bidang Pemerintahan H Husein Jachjasaputra (almarhum) pernah mengingatkan akan masalah yang dihadapi Kotif Cimahi jika ditingkatkan status menjadi kota.
Betul, delapan dari sembilan indikator persyaratan untuk menjadi sebuah kota sudah bisa dipenuhi oleh Kotif Cimahi, yakni jumlah penduduk, mata pencarian nonpertanian, kepadatan penduduk, fasilitas umum kota, sifat hubungan masyarakat, heterogenitas penduduk, dan potensi keuangannya, berdasarkan kajian tahun 2000 dinilai sudah memenuhi syarat. Bahkan, dari aspek kemampuan ekonominya, pendapatan asli daerah (PAD) Cimahi pada tahun anggaran 1999/2000 mencapai Rp 18,6 miliar, berarti tiga kali lipat dari standar yang ditetapkan.
Jumlah itu sekaligus memperlihatkan betapa besar sumbangan PAD yang diberikan Kotif Cimahi kepada Kabupaten Bandung selama ini. Dalam pandangan yang sederhana, Kabupaten Bandung akan kehilangan pemasukan sebesar itu pula jika status Cimahi menjadi ”kota”.
Besarnya sumbangan itu disebabkan kehadiran industri-industri besar di wilayahnya. Zona industri terdapat merata hampir di semua wilayahnya. Namun, karena pengelolaan alokasinya tidak teratur, kehadirannya terkesan semrawut berbaur dengan perumahan penduduk. Konsentrasi industri terbanyak terdapat di Cimahi selatan.
Karena itu, sebagai sebuah kota yang luas wilayah hanya 40,3 kilometer persegi dan terdiri dari tiga kecamatan, Kota Cimahi membutuhkan pertimbangan tersendiri, terutama dalam menghadapi perkembangan penduduknya lima sampai 10 tahun ke depan. Apalagi hampir sepertiga dari luas wilayah itu merupakan wilayah milik militer yang digunakan sebagai pusat pendidikan berbagai cabang di lingkungan TNI/AD dan fasilitas pendukungnya.
Seperti kota-kota lainnya yang sedang tumbuh, Kota Cimahi selama ini sudah menghadapi laju pertambahan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk saat diresmikan menjadi kotif sebanyak 218.588 jiwa, tetapi tahun 2000 sudah mencapai 442.549 jiwa. Maka, bisa dibayangkan bagaimana jumlah penduduknya pada masa datang.
Saat ini saja, beberapa bagian wilayahnya sudah berkembang menjadi daerah kumuh. Rata-rata kepadatan penduduknya 229 jiwa per hektar. ”Buang air saja sudah susah, apalagi jika mati, susah mencari tanah untuk kubur,” kata seorang penduduk. Pada saat turun hujan, beberapa ruas jalan selalu tergenang air.
Persoalan daerah ini bukan hanya kepadatan penduduk. Cimahi yang secara harfiah berarti memiliki air yang berlimpah dipelesetkan menjadi caina teu mahi-mahi. Dalam bahasa Sunda, cai artinya air dan mahi artinya serba berkecukupan.
Tempo doeloe, sangat boleh jadi Cimahi memiliki sumber air yang melimpah. Dari hulunya di kaki Gunung Tangkubanperahu, Sungai Cimahi menjadi sumber utama kebutuhan air penduduk di bagian hilir. Namun, keadaan sudah banyak berubah. Hulu Sungai Cimahi yang termasuk bagian utara Kabupaten Bandung sudah banyak berubah. Tanaman padi huma sampai ke puncak-puncak bukit. Seperti daerah lainnya di Jabar, hutan dan tanaman lainnya sudah habis dirambah.
Air Sungai Cimahi yang menjadi sumber air baku Tirta Raharja, yakni perusahaan daerah air minum Kota Cimahi, debitnya terus menyusut. Dari semula mengolah 200 liter per detik, turun jadi 50 liter per detik sehingga tidak bakal mampu melayani kebutuhan 13.750 pelanggan di Kota Cimahi dan 1.400 pelanggan di Kecamatan Cisarua.
Selain air permukaan, sumber air lainnya adalah air bawah tanah. Tetapi, di daerah-daerah yang menjadi konsentrasi kawasan industri, eksploitasi air bawah tanah dilakukan secara berlebihan sehingga penurunan muka air bawah tanah di daerah itu berlangsung sangat cepat. Hasil penelitian geologi menunjukkan, cadangan air bawah tanah di daerah-daerah yang termasuk wilayah selatan Kota Cimahi sudah tergolong kritis.
Sebagai kota otonom yang masih sangat muda usianya, Kota Cimahi sudah dihadapkan pada persoalan-persoalan pelik yang membutuhkan pengertian dari daerah sekitarnya, termasuk Pemkab Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, mengingat satu-satunya jalan keluar hanyalah melalui perluasan wilayahnya. Lebih sulit lagi, wilayah yang dibutuhkan itu tidak mungkin dipenuhi oleh daerah atau kabupaten lain, kecuali oleh dua kabupaten yang jadi tetangganya.
Selama ini, pemerintah kota sudah lama menginginkan empat kecamatan di sekitarnya, Kecamatan Lembang, Cisarua, Ngamprah, dan Parongpong, menjadi bagian dari perluasan wilayahnya. Daerah-daerah itu sebelumnya termasuk wilayah Kabupaten Bandung yang sebagian besar masih bercorak pedesaan. Namun, sejak awal Kabupaten Bandung tetap bertekad mempertahankan keempat kecamatan itu. Artinya, daerah-daerah tersebut tidak akan diserahkan untuk perluasan Kota Cimahi.
Harapan Kota Cimahi memperluas wilayahnya makin tipis dengan terbentuknya Kabupaten Bandung Barat, keempat kecamatan tersebut menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten tersebut merupakan bentuk pemekaran dari wilayah Kabupaten Bandung.
Nasib selanjutnya dari kota ini ibarat ”buah simalakama”. Apakah Cimahi masih tetap bisa menjadi sebuah daerah otonom yang berstatus ”kota” walaupun kumuh, atau justru sebaliknya, mengalami langkah mundur karena dilikuidasi menjadi kecamatan. Kedua pilihan itu akan menjadi dilema mengingat jalan panjang dan melelahkan yang sudah dilalui. Selain itu, statusnya kini sebagai ”kota” merupakan kebanggaan tersendiri bagi warganya.
Sebagai cermin bagi masyarakat daerah lain yang sedang dimabuk keinginan memisahkan diri dari daerah induknya, pengalaman Kota Cimahi perlu disimak. Bahwa membangun atau membentuk kota/kabupaten baru tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi jika keinginan itu hanya didasari kepentingan jangka pendek dari segelintir orang yang memanipulasi diri dengan mengatasnamakan masyarakat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar